2017-08-18

Cerita singkat kegiatan dutayantra mendampingi mahasiswa Korea bersepeda.



16 Agustus 2017, pagi itu ternyata saya harus memacu sepeda saya lebih cepat karena saya baru berangkat dari rumah ketika teman-teman sudah start dari Janti. Dengan tenaga seadanya karena belum sarapan saya sukses memanen keringat ketika sampai di Candi Sari, tempat kumpul dan start kegiatan sepedaan pagi itu.

Hari itu dutayantra dipercaya mengajak sepedaan mahasiswa dari Namseoul, Korea. Perjalanan kali ini mengunjungi candi-candi. Dimulai di candi Sari, sepeda yang disediakan untuk mahasiswa Korea datang dan di un-load, di jejer apik, dan menunggu rombongan mahasiswa Korea datang. Acara dimulai dengan penjelasan singkat dan melihat-lihat bagian dalam candi yang disertai cerita dari pak Guru Mahatmanto. Cerita di candi Sari diakhiri dengan foto bersama.

Mahasiswa Korea tak sabar sepertinya ingin segera bersepeda, dengan sigap mereka keluar halaman candi dan memilih sepeda yang cocok bagi mereka. Penyesuaian rendah sadel dilakukan dan penjelasan singkat rute diucapkan. Road Captain kali ini ialah mas Cahya dengan pak Tata sebagai penyapu ranjau. Belum lama dipancal, terlihat dua pesepeda mahasiswa dari Korea penuh perjuangan memancal sepedanya menelusuri jalan desa dekat candi Sari.

Rute sepedaan ini dibuat asik dan diarahkan tidak melalui jalan utama. Dari candi Sari ke barat sedikit dan keutara hingga tembus jalan yang langsung mengarah ke rayamayana balet dan akan diteruskan melalui jalan tersebut ke candi Sewu hingga candi Plaosan.

Keluar dari jalan desa menuju jalan tembus sawah di barat laut candi Sari, ternyata salah satu dari dua peserta yang berada di paling belakang menyerah. Mobil pikep ternyata langsung ke arah candi sewu, sehingga sepeda yang nganggur saya geret.

Ternyata beberapa ratus meter didepan ada sepeda yang lepas QR as roda belakangnya dan ditukar dengan sepeda yang saya geret. Sepeda yang lepas QR-nya tersebut lalu di loading oleh mobil kampus. Sepedaan dilanjut menikmati sinar mentari dengan latar candi prambanan dan kompleksnya. Berhenti sejenak di jembatan sungai opak untuk menerima penjelasan mengenai pintu masuk candi Prambanan yang aslinya masuk dari barat dan harus melewati sungai (menyucikan diri) sebelum masuk ke kompleks suci Prambanan.

Perjalanan berlanjut mengutara dan menimur hingga candi Sewu. Mahasiswa Korea yang berada di paling belakang layak diacungi jempol tetap berusaha mengayuh sepedanya ditemani penyapu ranjau kami, meski berjarak 3 menit-an dari rombongan.



Sebelum masuk candi sewu kami disuguhi tayangan AV (bukan Adult Video lho ya) tentang pengenalan singkat per-candian di kawasan lembah dewa (daerah Prambanan). Beberapa mahasiswa korea di dalam ruangan merapikan gincu-nya sembari beberapa menyentorkan kipas angin portabelnya ke wajah dan sebagian menikmati empuknya sofa dalam alam frekuensi mimpi. Sepertinya meski pagi yang menurut kami masih sejuk, udara ini termasuk panas bagi mereka untuk sepedaan.

Tontonan audio visual tersebut sebagai pengantar kami menapak ke kompleks candi Sewu. 10 tahun yang lalu saya begitu terpesona karena 10 tahun yang lalu  adalah kali pertama saya melihat candi ini. dalam benak saya waktu itu candi ini mempunyai kesan yang sama dengan visual Guardian Force Alexander yang melindungi suatu kastil dari serangan naga Bahamut dalam permainan Final Fantasy IX, keren! Mungkin suatu saat ada film transformer Nusantara yang robotnya adalah perubahan dari candi-candi yang selama ini tidur ribuan tahun. Hahaha…

Beberapa mahasiswa Korea menyerah untuk melanjutkan perjalanan dengan bersepeda, namun masih ada yang gigih melanjutkan perjalanan dengan bersepeda. Di Plaosan kami mengitari kompleks candi dan masuk desa untuk melihat proses pembuatan jamu tradisional dan angklung. Hari yang mulai panas di sejukkan oleh hawa pedesaan dan angin kencang yang menjadi semilir karena di saring oleh pepohonan di desa.


 Menjelang jam 12, saatnya makan siang, kami menuju timur candi Plaosan untuk bersantap siang pecel dan esteh. Karena perjalanan sepedaan ini usai disini, maka semua sepeda dinaikkan ke pikep, ditata rapi dan sepeda siap untuk perjalanan pulang.

Ini merupakan pengalaman saya pertama mendampingi trip bersama mahasiswa asing dengan moda sepeda. Sayangnya banyak mahasiswa dari Korea tidak bisa berbahasan Inggris dan kami tidak bisa berbahasa Korea, sehingga banyak informasi yang dijelaskan selama perjalanan kurang masyuk kepada peserta dari Korea baik dengan obyek candi maupun di rumah produksi jamu dan angklung. Dampaknya mahasiswa dari Korea kemudian terlihat bosan ketika trip, dan hanya beberapa yang njethuk manthengin penjelasan / demonstrasi pembuatan.

Uniknya mereka begitu menaruh perhatian lebih pada anak kecil, di berbagai kesempatan di rumah produksi jamu dan angklung mereka mencoba berinteraksi dengan anak-kecil meski saling tak tau ngomong apaan, tetapi mereka tetap berusaha berinteraksi.

Untuk audio visual di candi Sewu, terpikir juga bila tayangannya dibuatkan subtitlenya dalam berbagai bahasa, jadi mbok menawa mendapat tamu dari luar, lebih terinformasikan secara jelas pada wisatawan.

Begitu pengalaman saya ditulis, semoga di lain kesempatan kita bisa bersepeda bersama dengan pengalaman seru yang lain!
Terimakasih dutayantra!





 


2017-05-06

susu jahe pak min


"tidak seorang pun terpencil seperti pulau"

meski ucapan itu berasal dari john donne, tapi saya membaca kutipan itu pertama kali dari buku thomas merton, seorang rahib modern yang meski tinggal di biara kontemplatif, tapi ia rajin menulis.
dan buku-buku tulisannya laku keras, karena ia menulis untuk orang modern hal-hal yang absen di dunia modern, yakni nilai-nilai spiritual. 
artinya, ia mengusahakan untuk terkoneksi dengan dunia modern, meski dia sendiri tinggal di dalam tembok biara yang bisu, dan dari situ ia tetap ingin memberi arti pada dunia di luarnya, tanpa perlu meninggalkan tempat.

terhubung dengan orang lain, ruang lain, adalah dorongan alami kita. manusia sebagai makhluk sosial. wujudnya adalah sarana-sarana komunikasi dan transportasi: jaringannyamaupun modanya. [dan sepeda adalah satunya hehe]

kota dengan jaringan jalan, lorong dan gangnya mencerminkan itu. mencerminkan bagaimana cara kita bertemu dengan orang lain. bila orang banguntapan seperti saya hendak bertemu orang di malioboro, maka akan melalui berbagai kelas jalan yang berbeda-beda lebarnya, kesibukannya, arah lalu lintasnya, jenis-jenis kendaraannya... 
dari mulai lorong perumahan, gang-gang, hingga ke jalan besar, ada hirarkhi yang jelas: dari kecil ke besar, dari sempit ke longgar.
jaringan jalan ini mirip pohon: ada akar, batang, cabang, ranting, carang dan baru buah, bunga dan daun..
kalau di yogya, semua jalan menuju ke alun-alun, halaman depan kraton. sama seperti dulu pada masa roma, ada ungkapan "semua jalan menuju roma"

apakah ada jaringan jalan yang tidak hirarkhis?

kalau ada, maka metaforanya bukan pohon, tapi jahe, atau rumput, atau bambu... yakni kelompok tanaman yang disebut sebagai rhizome, atau rizoma dalam bahasa indonesia. yakni tanaman yang tubuhnya senderhana: antara akar, batang, caban itu menyatu dalam satu tubuh.
ajaibnya lagi, bila mereka saling didekatkan, bisa nyambung menjadi satu kesatuan struktur.

pohon dan rhizome, sebagai struktur yang berbeda cara-caranya menghubungkan bagian-bagiannya, pernah dibahas oleh deleuze. seorang filsuf asal prancis.

struktur rhizome tidak punya hirarkhi. bagian satu dengan yang lain dalam status yang setara. bukan yang satu menopang yang lain, seperti kolom menopang balok yang kita kenal.

di jalanan perumahan dan kampung sekitar saya, saya masih bisa menjelajahi hubungan-hubungan yang setara itu tadi. juga kalau saya hendak ke warung pak min, langganan saya kalau ingin minum susu jahe favorit saya.
tinggal ngonthel dari rumah, keluar gang sebentar, lalu pindah ke jalan yang menuju ke kampung di utara...luruus terus sampai puskesmas.
nah, 
di sampingnya itu,
tiap malam ada warung wedangan
susu jahe pak min!

--
mahatmanto

2017-04-12

manusia dan glondongan kayu




Ada suatu pendekatan yang menyatakan bahwa dalam pembangunan suatu candi salah satu cara mendatangkan batu ke lokasi pembangunan menggunakan deretan gelondongan kayu sebagai bantalan berjalan. Ketika batu didorong maka batu bergerak maju dengan mudah diatas bantalan glondongan kayu, dan glondongan kayu paling belakang akan terlepas dari beban batu, sedangkan ujung depan batu perlu ditumpu gelondongan kayu lagi untuk dapat didorong secara mudah.

Gelondongan kayu berfungsi menghantarkan kayu menuju lokasi candi. Satu batu candi tersebut merupakan bagian penting bahkan suci dalam membentuk suatu bangunan candi. Penting dalam bentuk melengkapi bentuk, maupun sebagai pengunci antar batu candi.

Ilmu pengetahuan bagai batu candi dan manusia yang mendalaminya sebagai gelondongan kayu yang menghantarkan dan memajukan suatu keilmuan. Secara periodik digantikan balok kayu lain di depannya, selalu ada manusia-manusia baru, atau pemikiran baru untuk menghantarkan suatu keilmuan satu gelindingan lebih maju.

Manusia yang bercumbu dengan suatu keilmuan, saling memajukan, saling melengkapi, saling melakukan kritik konstruktif. Manusia lama hilang, meninggalkan keilmuan pada titik tertentu yang dilanjutkan oleh manusia-manusia baru, meneruskan kemajuan suatu keilmuan. Selalu terjadi dialog, dari generasi ke generasi, lintas generasi ..

Yang mempunyai  tujuan akhir berupa suatu keilmuan yang dapat berdialog dengan keilmuan lain sehingga berkontribusi pada dunia lebih luas, batu yang akhirnya menemukan tempatnya pada suatu susunan candi.

Seberapa penting, kemajuan ilmu pengetahuan bagi kita sehingga kita rela menjadi gelondongan kayu?
Salam
..
Eigner

Terimakasih Pak Anto atas tambahan pengetahuannya.

2017-04-10

everlasting mak comblang

Siapa yang tidak mengenal Mak Comblang? Panggilan ini kerap hadir di telinga, dialah orang yang berjasa mempertemukan 2 manusia sehingga bisa menjadi pasangan. Mak Comblang adalah pihak ke 3 di antara 2 insan yang 'akan' menjadi pasangan. Umumnya dia akan pergi setelah pihak 1 dan 2 bertemu. Rupanya hal ini juga terjadi pada sambungan dalam sebuah bangunan.

Sabtu kemarin, (8 April 2017) kami, komunitas pesepeda mengunjungi Masjid Saka Tunggal. Disebut Saka Tunggal karena memang hanya memiliki 1 saka saja. Di sini saya mengamati sambungan yang melibatkan pihak ke 3. Sambungan tersebut saya jumpai di bagian luar masjid yaitu pada rangka atapnya. Untuk lebih jelasnya, silakan lihat gambar berikut.


Sambungan ini menghubungkan 2 balok dengan material yang sama yaitu kayu. Tetapi dalam hal ini membutuhkan pihak ke 3 yaitu kunci yang juga terbuat dari kayu.

Sebut saja pihak ke 3 ini sebagai mak comblang. Namun, mak comblang di sini aneh, biasanya ketika mak comblang berhasil mempertemukan 2 pihak, maka dia akan pergi, tetapi yang ini tidak demikian. Justru jika mak comblangnya pergi, maka sambungannya ambyar. Kenapa? Karena tidak  ada lagi yang mengunci mereka. Untuk lebih detail tentang balok yang memiliki sambungan ber-mak comblang, silakan lihat gambar berikut.


​Selanjutnya, kami pergi ke Cemeti. Di Cemeti,  lagi-lagi kami menemukan sang mak comblang! Kali ini dia menghubungkan 2 material yang berbeda, yaitu beton dan kayu. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut.

Terlihat bahwa beton umpak dihubungkan dengan kolom kayu oleh baja. Lagi-lagi, jika mak comblangnya pergi maka yang terjadi adalah ambyar! Dari ke dua fakta ini sangat membuktikan bahwa peran mak comblang dalam sambungan pada bangunan sangat berbeda dengan mak comblang yang menghubungkan 2 insan, laki-laki dan perempuan. Jika mak comblang manusia biasanya pergi setelah sang laki-laki dan sang perempuan bertemu, maka mak comblang yang ini berbeda karena dia tidak bisa dilepaskan dari 2 pihak yang sudah bertemu. Kurang ajar! 😂

Mak comblang kerap ditemui dalam struktur bangunan. Dan oleh karena dia tak mungkin terpisahkan dengan yang disambungkan, maka saya menyebutnya EVERLASTING MAK COMBLANG.

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa like atau komentar.
Salam arsitek!

Bagus Panglipur

kaki lima kota

di yogya ini kita tidak punya kaki lima.
ada memang ruang memanjang di samping jalan yang mirip kaki lima atau trotoar, tapi tidak berfungsi sebagai kaki lima. ia sudah diserobot oleh tiang-tiang listrik, pot-pot raksasa untuk bunga, banner penjual pulsa, dijadikan warung tenda, dijadikan perluasan garasi atau tempat parkir, dan bahkan secara resmi dipakai menjadi halte bus trans-jogja.

padahal trotoar punya potensi untuk menjadi jalur pejalan kaki yang memungkinkan mereka berjalan secara sehat dan hemat, serta melihat-lihat orang lain lewat atau pun pemandangan dari gedung-gedung yang tentu berlomba-lomba didisain bagus agar menarik perhatian.
trotoar -pendeknya- adalah jalur untuk orang menikmati aktivitas jalan-jalan. tidak hanya jalan-jalan, namun juga pit-pitanyakni bergerak dengan sepeda tapi demi menikmati pergerakan dengan sarana pit itu sendiri.


trotoar di bandung,
foto diambil dari infobdg.com 

di bandung telah diusahakan untuk membuat trotoar sebagai jalur yang seperti itu. di beberapa ruas jalan yang memang dikitari oleh bangunan-bangunan indah peninggalan masa kolonial, trotoar di sekitar jalan braga dan gedung sate telah dicoba memperbaiki trotoarnya sehingga layak untuk orang bergerak berjalan-jalan maupun pit-pitan.
sumber gambar kompas.com

yogya juga sudah mengusahakan memperbaiki sarana pejalan kaki ini di ruas jalan malioboro. dan karena di yogya banyak bangunan serta titik-titik yang potensial untuk didatangi dengan jalan kaki, maka ada harapan besar pemerintah kota memberanikan diri membalikkan paradigma pembangunan selama ini: beri prioritas pada pejalan kaki dan pesepeda, untuk seluruh jalanan kota!